Lelaki dalam Cermin

Ia ada di sana, bersama bayang-bayang yang membodohinya
Ia menutup rapat wajahnya dengan tas yang kemarin sore ia pakai kuliah
Ia mengisi penuh tangki motornya agar tidak berhenti terlalu cepat
Ia akan menghabiskan waktu liburnya di sebuah kota yang ia pikir akan menenangkannya
Ia mungkin akan terlambat lagi shalat subuh karena tidak ada yang membangunkannya
Ia akan singgah di salah satu warung mie ayam sebelum pulang, sebab itu akan mengingatkannya pada seseorang
Ia cukup bahagia dengan semua yang ia raih, namun itu tetap saja membuatnya kesepian
Ia mengeluarkan telepon genggam dari saku jaketnya, tapi kemudian bingung mau mengirim pesan pendek pada siapa
Ia lelah, dengan semua yang telah ia lakukan, juga pada apa yang harus ia lakukan kemudian
Ia mungkin akan ke kota lain lagi, ke rumah salah satu temannya, meminum segelas sirup dingin yang dihidangkan, lalu pulang, tanpa alasan dan tujuan jelas
Ia pikir semua itu akan melenyapkan lelah dan rasa sepinya, namun ia justru semakin lelah dan kesepian
Ia belum mengerti apa yang kau katakan, tentang kertas usang penuh coretan dari binder yang ia berikan
Ya, ia memang selalu kesulitan mengerti tentangmu
Ia, lelaki itu, sekarang ada di depanku, dalam cermin yang menghadap ke arahku

Mandastana, 26 Desember 2011

Lelaki yang Terus Menangis

lelaki yg terus menangis
31 Desember 2004
Aku adalah lelaki yang terus menangis. Semua karena Ayah.
Satu minggu yang lalu, aku dan teman-teman sekelas sudah berencana menghabiskan tahun baru di Pantai Batakan. Ke sana, kami harus patungan 50 ribu perorang untuk bayar mobil pick up yang akan kami sewa. Tapi begitu hari ini tiba, Ayah malah melarangku ke sana. Bukan, bukan karena mengkhawatirkan keselamatanku yang telah SMA ini, melainkan karena beliau tak mau memberiku uang untuk aku bisa sedikit mencicipi kebahagiaan. Baca lebih lanjut